Rabu, 10 Januari 2024

Parikan (Pantun Jawa)


Parikan (Pantun Jawa)

 

Pantun merupakan satu di antara sekian banyak genre kesusastraan yang lahir dan berkembang di nusantara. Pada mulanya, istilah pantun ini berasal dari bahasa Minangkabau patuntun yang berarti penuntun. Namun ternyata, istilah pantun ini pun dikenal juga dikalangan masyarakat Suku Jawa, Sunda, Batak, dan Melayu. Dalam masyarakat Suku Jawa,pantun dikenal dengan istilah parikan. Dalam masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan paparikan. Sementara masyarakat Batak mengenal pantun dengan istilah umpasa (dibaca uppasa). Masih tentang pantun, dalam bahasa Melayu, pantun dikenal dengan istilah quatrain. Definisi parikan ialah tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan  sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan  bahasa tulisan. Istilah parikan memang asli Jawa. Parikan identik dengan pantun dalam bahasa Indonesia. Karena genre ini memuat banyak pari, kemudian disebut dengan parikan (artinya; memuat banyak pari). Di dalamnya terkandung sampiran dan isi (Endraswara, 2005:59). Parikan tersebut merepresentasikan pendidikan karakter di dalamnya. Pendidikan karakter yang muncul dalam parikan adalah salah satu alternatif pembentukan pendidikan karakter pada anak-anak di sekolah. Parikan adalah bunyi yang pada bagian pertama sebagai sampiran atau penentu suara, kedua adalah berupa isi. Diungkap dalam bahasa Jawa, Parikan yaiku  ̳unenunen rong perangan perangan (bagian) kapisan kanggo pancandan (sampiran) (kanggo pentokaning swara), dene perangan kapindho mawa teges (merupakan isi) kang dikarepake.‘ Parikan adalah bunyi yang terdiri atas dua bentuk yang pertama untuk menarik perhatian yang berupa sampiran dan yang kedua berupa isi. Peran pantun (parikan) sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang seharusnya, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Parikan ada dua warna, (dua jenis) yaitu:

1. Terdiri atas 2 kalimat yang bersajak.

2. Saben saukara kedadean saka rong gatra (larik). Dalam hal ini adalah bentuk parikan panjang

3. Ukara pertama berupa purwaka (sampiran), ukara kedua berupa uwose (isi).

Parikan Sebuah Idola Jawa Parikan merupakan kata pantun (bahasa jawa krama) sering diterjemahkan ke dalam bahasa jawa ngoko menjadi pari. Artinya berbagai hal tentang pari. Parikan berarti sejajar dengan pantun, maka di dalamnya harus ada sampiran (ancang-ancang) bicara, dan isi (kandungan) makna berikutnya. Karena parikan ini termasuk atau merupakan tradisi lisan rakyat jadi tidak jelas siapa penciptanya atau anonim. Hubungan sampiran dan isi sejajar tak ada yang lebih dominan atau penting, keduanya saling mengisi membentuk sebuah estetika. Dengan kata lain pantun dan parikan sebenarnya memiliki ciri- ciri yang senada. Keduanya memiliki struktur sampiran dan isi. Sampiran adalah kata-kata awal yang membutuh kan jawaban (isi). Sampiran dan isi harus selaras bunyi vokal dan konsonannya. Parikan merupakan genre puisi rakyat yang khas, meskipun demikian parikan tergolong puisi jawa tradisional tembang para, artinya aturan yang digunakan tidak terlalu ketat. Parikan juga sering digunakan dalam pentas seni yaitu gara-gara wayang kulit, dagelan kethoprak, kentrung, jathilan, dan sebagainya yang dimanfaatkan sebagai wahana ekspresi.

Parikan cocok sebagai konsumsi kejiwaan. Orang Jawa sudah membicarakan dan memanfaatkan parikan dalam ragam seni, sehingga parikan semakin digemari dan menjadi idola. Orang yang mendengarkan pun akan merasa adanya getaran-getaran jiwa yang menggores.

sumber :https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kultura/article/view/11773/10274 


PENGERTIAN CERKAK, CIRI, DAN UNSUR-UNSURNYA-BAHASA JAWA-KURMER-KELAS 9

PENGERTIAN CERKAK, CIRI, DAN UNSUR-UNSURNYA   Mengutip jurnal Karakter dalam Preman, Antologi Cerkak Karya Tiwiek SA dan Implikasinya Te...