Parikan (Pantun Jawa)
Pantun
merupakan satu di antara sekian banyak genre kesusastraan yang lahir dan berkembang di nusantara. Pada mulanya,
istilah pantun ini berasal dari bahasa Minangkabau patuntun yang berarti penuntun. Namun
ternyata, istilah pantun ini pun dikenal juga dikalangan masyarakat Suku Jawa,
Sunda, Batak, dan Melayu. Dalam masyarakat Suku Jawa,pantun dikenal dengan istilah
parikan.
Dalam
masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan paparikan.
Sementara masyarakat Batak mengenal pantun dengan istilah umpasa (dibaca uppasa). Masih tentang pantun, dalam
bahasa Melayu, pantun dikenal dengan istilah quatrain. Definisi parikan ialah tradisi lisan,
budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian
yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Pesan
atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat
berbentuk pantun, cerita
rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah
lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya
ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. Istilah
parikan memang asli Jawa.
Parikan identik dengan pantun dalam bahasa Indonesia. Karena genre ini memuat banyak pari, kemudian disebut dengan
parikan (artinya; memuat banyak pari). Di dalamnya terkandung sampiran dan isi (Endraswara,
2005:59). Parikan tersebut merepresentasikan pendidikan
karakter di dalamnya. Pendidikan karakter yang muncul dalam parikan adalah salah satu alternatif pembentukan
pendidikan karakter pada anak-anak di sekolah. Parikan
adalah bunyi yang pada bagian pertama sebagai sampiran atau penentu suara, kedua adalah berupa isi. Diungkap dalam
bahasa Jawa, Parikan yaiku ̳unen–unen rong perangan perangan (bagian) kapisan
kanggo pancandan (sampiran) (kanggo pentokaning swara),
dene perangan kapindho mawa teges (merupakan isi) kang dikarepake.‘ Parikan adalah bunyi yang terdiri atas dua
bentuk yang pertama untuk menarik perhatian yang berupa sampiran dan yang kedua berupa isi. Peran pantun (parikan) sebagai alat
pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga
fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang
berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia
juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata
yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan
yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang seharusnya, kemampuan berpantun biasanya dihargai.
Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir
dan bermain-main dengan kata. Parikan ada dua warna, (dua jenis) yaitu:
1.
Terdiri atas 2 kalimat yang bersajak.
2.
Saben saukara kedadean saka rong gatra (larik). Dalam hal ini adalah bentuk
parikan panjang
3.
Ukara pertama berupa purwaka (sampiran), ukara kedua berupa uwose (isi).
Parikan
Sebuah Idola Jawa Parikan merupakan kata pantun (bahasa jawa krama) sering diterjemahkan ke dalam bahasa
jawa ngoko menjadi pari. Artinya berbagai hal tentang pari. Parikan berarti sejajar dengan
pantun, maka di dalamnya harus ada sampiran (ancang-ancang) bicara, dan isi
(kandungan) makna berikutnya. Karena parikan ini termasuk atau merupakan tradisi lisan rakyat jadi
tidak jelas siapa penciptanya atau anonim. Hubungan sampiran dan isi sejajar tak ada yang
lebih dominan atau penting, keduanya saling mengisi membentuk sebuah estetika. Dengan kata
lain pantun dan parikan sebenarnya memiliki ciri- ciri
yang senada. Keduanya memiliki struktur sampiran dan isi. Sampiran adalah
kata-kata awal yang
membutuh kan jawaban (isi). Sampiran dan isi
harus selaras bunyi vokal dan konsonannya. Parikan merupakan genre puisi rakyat
yang khas, meskipun demikian parikan tergolong
puisi jawa tradisional tembang para, artinya aturan yang digunakan tidak
terlalu ketat. Parikan juga sering digunakan
dalam pentas seni yaitu gara-gara wayang kulit, dagelan kethoprak, kentrung, jathilan, dan
sebagainya yang dimanfaatkan sebagai wahana ekspresi.
Parikan
cocok sebagai konsumsi kejiwaan. Orang Jawa sudah membicarakan dan memanfaatkan parikan dalam ragam seni,
sehingga parikan semakin digemari dan menjadi idola.
Orang yang mendengarkan pun akan merasa adanya getaran-getaran jiwa yang menggores.
sumber :https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/kultura/article/view/11773/10274